PROF. DR. ANIES BASWEDAN
Anies Baswedan Ph.D., (lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969; umur 42 tahun[1]) adalah intelektual asal Indonesia.
Anies Baswedan Ph.D., (lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969; umur 42 tahun[1]) adalah intelektual asal Indonesia.
Pada 2005, Anies menjadi direktur riset pada The Indonesian
Institute.[2] Kemudian pada 2008, ia mendapat anugerah sebagai 100 Tokoh
Intelektual Muda Dunia versi Majalah Foreign Policy dari Amerika
Serikat.[3] Pada tahun yang sama, di usia muda (38 tahun) ia menjadi
rektor Universitas Paramadina.[4] Meskipun lahir di Kuningan, Jawa
Barat, Anies menghabiskan masa kecil hingga kuliahnya di Yogyakarta.[1]
Karier dan Kehidupan
Masa kecil
Anies dan keluarganya tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman
Baswedan (AR Baswedan).[1] Kakeknya adalah seorang jurnalis dan perintis
kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) dan
anggota konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat).[1]
Kedua orang tua Anies adalah dosen, Rasyid Baswedan, ayah Anies,
pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara
Aliyah Rasyid, ibu Anies, adalah guru besar di Universitas Negeri
Yogyakarta.[1]
Anies memulai pendidikan formalnya menjelang usia lima tahun.[1] Ia
masuk ke sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta.[rujukan?]
Kemudian, memasuki usia enam tahun Anies dimasukkan ke SD Laboratori
Yogyakarta.[1] Anies melanjutkan masa SMP-nya di SMP Negeri 5
Yogyakarta.[1] Kemudian, Anies melanjutkan masa SMA-nya di SMAN 2
Yogyakarta.[rujukan?] Anies menjalani masa SMA selama 4 tahun pada
1985-1989 karena terpilih sebagai peserta dalam program AFS.[1] Anies
mengikuti program pertukaran pelajar AFS Intercultural Programs, yang di
Indonesia diselenggarakan oleh Bina Antarbudaya, selama satu tahun di
Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat (1987-1988).[1]
Jiwa kepemimpinan
Sejak kecil Anies sudah akrab dengan dunia organisasi dan
kepemimpinan.[rujukan?] Ketika usianya baru 12 tahun, Anies membentuk
kelompok anak-anak muda (7-15 tahun) kampungnya yang diberi nama
'Kelabang' (Klub Anak Berkembang).[1] Mereka kemudian membuat seragam
lengkap dengan tulisan 'Kelabang' dan gambar binatang kelabang (lipan),
dan mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian.[1]
Ketika SMA, Anies pernah menjadi ketua OSIS se-Indonesia ketika ia
mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta pada September 1985.[1] Ia
menjadi ketua untuk 300 delegasi SMA-SMA se-Indonesia.[rujukan?] Saat
itu Anies baru berada di kelas satu.[1]
Dari aktivis hingga rektor
Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989-1995)[1], dia
aktif di gerakan mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa
UGM.[1] Sewaktu menjadi mahasiswa UGM, dia mendapatkan beasiswa Japan
Airlines Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian
Studies di Universitas Sophia di Tokyo, Jepang.[rujukan?]
Setelah lulus kuliah di UGM pada 1995, Anies bekerja di Pusat Antar
Universitas Studi Ekonomi di UGM.[2] Kemudian, Anies mendapatkan
beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master Bidang International Security
and Economic Policy di Universitas Maryland, College Park.[rujukan?]
Sewaktu kuliah, dia dianugerahi William P. Cole III Fellow di Maryland
School of Public Policy, ICF Scholarship, dan ASEAN Student Award.[2]
Pada 2005, Anies menjadi peserta Gerald Maryanov Fellow di Departemen
Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois sehingga dapat
menyelesaikan disertasinya tentang "Otonomi Daerah dan Pola Demokrasi di
Indonesia".[rujukan?]
Ketika berada di Amerika Serikat, Anies aktif di dunia akademik
dengan menulis sejumlah artikel dan menjadi pembicara dalam berbagai
konferensi.[1] Ia banyak menulis artikel mengenai desentralisasi,
demokrasi, dan politik Islam di Indonesia.[5] Artikel jurnalnya yang
berjudul "Political Islam: Present and Future Trajectory" dimuat di
Asian Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas
California.[5] Sementara, artikel Indonesian Politics in 2007: The
Presidency, Local Elections and The Future of Democracy diterbitkan oleh
BIES, Australian National University.[6]
Sepulang ke Indonesia, Anies bekerja sebagai National Advisor bidang
desentralisasi dan otonomi daerah di Partnership for Governance Reform,
Jakarta (2006-2007).[7] Selain itu pernah juga menjadi peneliti utama di
Lembaga Survei Indonesia (2005-2007).[7]
Pada 15 Mei 2007, Anies Baswedan dilantik menjadi rektor Universitas
Paramadina.[1] Anies menjadi rektor menggantikan posisi yang dulu
ditempati oleh cendekiawan dan intelektual Muslim, Nurcholish Madjid,
yang juga merupakan pendiri universitas tersebut.[8] Saat itu ia baru
berusia 38 tahun dan menjadi rektor termuda di Indonesia.[4][8]
Intelektual Dunia
Majalah Foreign Policy memasukan Anies dalam daftar 100 Intelektual
Publik Dunia.[9] Nama Anies Baswedan tercantum sebagai satu-satunya
orang Indonesia yang masuk pada daftar yang dirilis majalah tersebut
pada edisi April 2008.[9] Anies berada pada jajaran nama-nama tokoh
dunia antara lain tokoh perdamaian, Noam Chomsky, para penerima
penghargaan Nobel, seperti Shirin Ebadi, Al Gore, Muhammad Yunus, dan
Amartya Sen, serta Vaclav Havel, filsuf, negarawan, sastrawan, dan ikon
demokrasi dari Ceko.[4] Sementara, World Economic Forum, berpusat di
Davos, memilih Anies sebagai salah satu Young Global Leaders (Februari
2009).[rujukan?]
Kemudian, pada April 2010, Anies Baswedan terpilih sebagai satu dari
20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi
majalah Foresight yang terbit di Jepang akhir April (2010).[10] Dalam
edisi khusus yang berjudul “20 Orang 20 Tahun”, Majalah Foresight
menampilkan 20 tokoh yang diperkirakan skan menjadi perhatian dunia.
Mereka akan berperan dalam perubahan dunia dua dekade mendatang.[10]
Nama Anies disematkan bersama 19 tokoh dunia lain seperti Perdana
Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu
Inggris David Miliband, anggota Parlemen dan Sekjen Indian National
Congress India Rahul Gandhi, serta politisi muda Partai Republik dan
anggota House of Representative AS, Paul Ryan.[10]
Majalah bulanan berbahasa Jepang itu menilai bahwa Anies adalah tokoh
yang merupakan salah satu calon pemimpin Indonesia masa mendatang.[10]
Anies adalah seorang muslim moderat yang sampai saat ini tetap
konsisten pada pendiriannya untuk tidak memihak pada kekuatan (politik)
tertentu.[10]
Pada Pemilu 2009, Anies menjadi moderator dalam acara debat calon
presiden 2009.[11] Pada akhir 2009, Anies dipilih oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk menjadi anggota Tim-8 dalam kasus sangkaan
pidana terhadap pimpinan KPK yaitu Bibit dan Chandra.[12] Anies, yang
bukan berlatar belakang hukum, dipilih menjadi Juru Bicara
Tim-8.[rujukan?] Penyampaiannya yang sistematis, tenang dan obyektif
dianggap turut membantu menjernihkan suasana dalam suhu politik yang
agak memanas di masa itu (Tim-8 bekerja non-stop selama 2 minggu di
bulan November 2009).[12][12]
Keluarga
AR Baswedan, kakek Anies Baswedan
Anies adalah cucu dari AR Baswedan, salah seorang pejuang pergerakan
nasional dan pernah menjadi Menteri Penerangan di masa awal kemerdekaan
Indonesia.[13]
Anies adalah anak pertama dari pasangan Drs. Rasyid Baswedan, S.U.
(Dosen Fak Ekonomi Universitas Islam Indonesia) dan Prof. Dr. Aliyah
Rasyid, M.Pd. (Dosen Fak. Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Yogyakarta).[1]
Ia menikah dengan Fery Farhati Ganis, S.Psi., M.Sc. dan dikaruniai
empat anak: Mutiara Annisa (sulung), Mikail Azizi (kedua), Kaisar Hakam
(ketiga), dan Ismail Hakim (bungsu).[1] Mereka bertempat tinggal di
daerah Lebak Bulus di Jakarta.[13]
Pemikiran
Pendidikan Tinggi
Perihal pendidikan tinggi, menurut Anies, hubungan mahasiswa dan
perguruan tinggi bukanlah hubungan transaksional komersial.[rujukan?]
Sebuah perguruan tinggi tidak boleh memandang dirinya sebagai penjual
jasa pendidikan dan memandang mahasiswa sebagai pembelinya.[4]
Pendidikan tinggi di Indonesia seharusnya dipahami oleh pelakunya
sebagai pendorong kemajuan bangsa dan memosisikan mahasiswa sebagai
agent of change (agen perubahan).[4] Anies menganggap bahwa pemuda
inilah yang akan menggantikan peran generasi tua di masa depan.[4]
Dalam hal pengelolaan pendidikan, Anies berpendapat bahwa hal
tersebut memang mahal.[14] Baginya, ini merupakan tantangan bagi
pimpinan institusi pendidikan untuk kreatif membuat alternatif
model-model pendanaan, baik dari pemerintah maupun swasta.[14]
Sebagai seorang akademisi, bagi Anies, pendidikan harus ditunjang
oleh kemandirian dalam pembiayaan pendidikan itu adalah suatu
keniscayaan.[14] Di awal mungkin perguruan tinggi memang perlu dibiayai
pemerintah, tetapi dalam perjalanan selanjutnya harus dapat
mandiri.[rujukan?] Bahkan, dalam hal ini, Anies menyatakan bahwa
perguruan tinggi harus mampu menerjemahkan bahasa pengelolaan pendidikan
dalam bahasa pengelolaan bisnis modern.[14]
Pada 2008, Ia merintis Program Beasiswa di Universitas Paramadina
bernama Paramadina Fellowship.[4] Program ini mengadopsi konsep yang
biasa digunakan di universitas-universitas di Amerika Utara dan Eropa
dengan menyematkan nama sponsor sebagai predikat penerima beasiswa.[4]
Jika mahasiswa A mendapat beasiswa dari institusi B, yang memang
menjadi salah satu sponsor, di belakang nama mahasiswa dicantumkan nama
sponsor, menjadi A, Paramadina, Institusi B Fellow. Sebagai contoh Andi,
Paramadina Adaro Fellow.[4] Predikat itu wajib digunakan dalam berbagai
publikasi dan tulisan.[4]
Anies mengakui bahwa kunci keberhasilan sebuah perguruan tinggi
adalah menerima yang terbaik (admit for the best).[8] Selain itu, bagi
Anies, lulusan perguruan tinggi yang baik adalah bukan yang setelah
lulus berlomba membuat CV (curriculum vitae) sebagus mungkin.[8]
Baginya, mahasiswa harus dapat membuat proposal bisnis ketika
lulus.[rujukan?] Harapannya, mereka bukan mencari pekerjaan kelak tetapi
akan membuka lapangan pekerjaan.[8]
Kemampuan Menulis dan Bahasa Internasional
Menurut Anies, mahasiswa memiliki tiga karakter utama, yakni
intelektualitas, moral dan ke-oposisi-an.[15] Selama ini, dua karakter
terakhir sudah dapat dikatakan tuntas.[15] Timbulnya pergerakan
organisasi-organisasi mahasiswa menunjukkan karaker oposisi
mahasiswa.[rujukan?] Meski kadang terlihat anarkis, tetapi mahasiswa
telah mengerti batasan-batasan moral yang harus dijaga.[15] Akan tetapi,
karakter pertama, intelektualitas, masih belum dihayati. Implementasi
karakter tersebut adalah kemampuan menulis dan berbahasa
internasional.[15]
Anies menegaskan bahwa dalam satu waktu, seseorang bukan hanya warga
sebuah negara, tetapi juga menjadi "warga dunia".[16] Dengan kesadaran
menjadi ”warga dunia” , mahasiswa dapat melihat ke depan.[16] Menurut
Anies, kompetitor mahasiswa Indonesia bukanlah mahasiswa lain dari
perguruan tinggi terkemuka di Tanah Air[16], tetapi mahasiswa-mahasiswa
yang merupakan lulusan Melbourne, Amerika Serikat, Tokyo, dan lain-lain
yang memiliki kemampuan bahasa, ilmu pengetahuan, dan jaringan
internasional luas.[15] Menurutnya saat ini harus ada kesadaran
melampaui Indonesia, beyond Indonesia.[16]
Dalam dunia akademik yang kompetitif seperti itu, maka kemampuan
menulis menjadi perlu.[15] Penyampaian ide dalam bentuk tulisan akan
berharga sekali.[rujukan?] Bahkan, menurut Anies, dalam membangun
peradaban, kemampuan menulis menjadi fundamental.[15] Selain itu,
kemampuan berbahasa internasional akan membantu mahasiswa untuk
menyampaikan ide-idenya.[rujukan?] Di era globalisasi ini, akumulasi
pengetahuan jangan sampai sia-sia hanya karena dua syarat itu
diabaikan.[15]
Optimisme Bangsa
Menurut Anies, sikap optimistis perlu diambil dalam memandang bangsa
Indonesia.[16] Optimisme seharusnya menjadi prioritas bagi generasi muda
Bangsa Indonesia.[rujukan?] Menurutnya, pemuda Indonesia telah
mengawalinya ketika terselenggara Konferensi Pemuda II, 28 Oktober
1928.[17] Keputusan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan adalah keputusan jenius.[rujukan?] Oleh karena itu, banyak
urusan bangsa menjadi sederhana karena bahasa tersebut dapat diterima
seluruh rakyat.[17]
Anies menyatakan bahwa bagaimanapun kondisinya, bangsa ini harus
disikapi dengan kritis dan optimistis.[17] Selain itu, para pemuda perlu
fokus pada inspirasi tentang kemajuan bukan cerita masa lalu.[rujukan?]
Pandangan yang perlu dijadikan prioritas adalah bahwa bangsa Indonesia
perlu memiliki perasaan kolektif positif untuk maju dan
berkembang.[rujukan?] Pesimisme seharusnya dikubur, lalu munculkan
optimisme.[17]
Realitas bangsa, menurut Anies, seharusnya dipandang dengan sudut
pandang optimisme. Meskipun demikian, media perlu menggandakannya agar
menjadi optimisme kolektif seluruh elemen bangsa.[16] Jangan sampai
semangat optimisme itu dikalahkan oleh budaya korupsi.[16] Anies
menegaskan bahwa janji kemerdekaan telah dilunasi oleh pendahulu
bangsa.[17] Bangsa Indonesia harus bekerja lebih keras untuk melunasi
janji kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia
sumber: wikipedia.org
sumber: wikipedia.org
EmoticonEmoticon